Kumpulan Cerita Pendek (Cerpen) Sedih - Sepahit Kopi Tanpa Susu



Sepahit Kopi Tanpa Susu

"Aditya Eka Pratama"

                “Don’t stop believin, hold on to that feelin, streetlight people.”
“Doooorrr!!!” Kicahku mencoba mengageti bang Wildan yang sedang asyik memainkan jarinya memetik sebuah gitar bermerk Yamaha’nya itu, suaranya yang khas juga ikut bersenandung menambah indah instrumentalnya itu.
                “Astagfirullah dek, kaget abang.” Komentar bang Wildan sambil mengusap halus dadanya.
                “heheh… bercanda bang, suara abang bagus lho” Pujiku.
                “Ahh, yang bener aja dek , jadi malu abang.”
                “Iyaa bener, tapi tetep bagusan adek suaranya, maen gitarnya juga jagoan adek, iyakan heheh…”
                “Iyain aja deh biar adek abang ini seneng, wlekk” Timpal bang Wildan sembari menjulurkan lidahnya, terlihat manis memang abangku ini,
                “Aku ngambek.”
                “Idih udah gede kok masih ngambek-ngambekan aja, malu tuh sama kumis tipisnya”
Masa bodoh dengan ucapan abangku hyang nyebelin ini, tak ku indahkan lagi ucapannya, tapi tiba-tiba bang Wildan malah menggelitikiku tanpa henti, alhasil aku pun tertawa dan mengibarkan bendera tanda damaiku kepadanya. “Ammpunnn bang, geliii….”
                “Hayo masih mau ngambek?”
                “Iya bang ampun, Gilbert nggak ngambek lagi, Cuma bercanda kok.”
Oh ya, sampai lupa! Kita belum kenalan ya ?
Namaku Gilbert, Gilbert Aji Sanjaya. Usia 12 Tahun dan duduk dikelas 7 baru lulus sih. Aku anak ke-2 dari 2 bersaudara. Aku berkulit sawo matang, berpakan sedang dengan satu lesung pipi dibagian kanan. Menurutku sih itu manis, iya kan ?? Nah yang tadi itu abangku, Wildan Aji Sanjaya. Dia duduk dikelas 8 diSMP Negeri Bandung, nah beda sama aku, bang Wildan ini orangnya berkulit putih, badannya sama aja sih kayak aku Cuma lebih tinggi dikit aja. Itu bedanya bang Wildan sama aku. Tapi dibalik perbedaan itu, ada banyak kok kesamaan kita, salah satunya sama-sama suka main gitar, mungkin keturunan dari Abi.
Aku sama Bang wildan bagaikan Kopi dan susu, kami saling melengkapi, saling isi. Aku bagai kopi dan bang Wildan bagai susu, bang Wildan pernah janji sama aku, kalau bakal terus jadi susu yang akan meniskan kopi ku itu.
                “Wildan, Gilbert ayo sudah waktunya sholat magrib.” Teriak Umi seraya mengejutkanku yang sedang asyik menyeteli gitar milik abangku itu.
                “Iya Mi sebentar, yuk dek turun kita sholat jama’ah.”
Tanpa dikomando lagi aku langsung turun kelantai bawah untuk melaksanakan ibadah sholat magrib.
Jeng..jeng…, Sholat magrib sudah It’s Time to makan malam, dimeja makan tampak banyak sekali (Nggak banyak juga sih, Cuma dihiperbolain sedikit) masakan Umi yang pastinya enak.
                “Gimana udah siap masuk sekolah lagi kalian ?” Tanya Abi memulai percakapan.
                “Sudah, Siap, Laksanakan” Timpalku dengat logat ala tentara angkatan laut gitu.
                “Alay lu dek !”
                “Bodo amat, eh ya besok kan aku sudah mulai sekolah, disekolah yang sama kayak abang, pokoknya kalau aku belum dapet temen, abang harus temenin aku terus, mulai sebelum bel masuk, istirahat pertama, istirahat kedua sama sampai pulang sekolah.”
                “Manjanya anak Umi yang satu ini..” Ternyata kata-kata ku itu membuat penduduk rumah ketawa terbahak-bahak, emangnya aku kelihatan manja banget ya ??
                “Iya,iya cowok kok manja gitu.”
                “Biarin, janji ya bang?’
Satu hari, dua hari, tiga hari,emm nggak terasa sudah satu minggu aku menjadi anak SMP. Sudah selesai waktu-waktu OSPEKku. Sekarang aku udah mulai banyak temen, udah gabung dalam berbagai Organisasi sekolah. Menyenangkan sekali hari-hariku ini.
“Dek ada audisi gitaris buat Band Sekolah, soalnya si Endrew pindah sekolah.” Kata bang Wildan penuh semangat.
“Wuih beneran bang?” tanyaku tak kalah semangat.
“Iya bener, kamu ikutan aja dek, pasti lolos deh!”
“Iya bang aku mau ikutan, tapi abang juga ikut kan ?”
“Ehmmm, enggak dek, abang males, kamu aja yang ikutan! Abang jamin kamu bakalan  lolos, suer”
“Iya bang, Do’ain Gilbert ya?”
                Lama, aku menunggu giliran untuk dipanggil, dan akhirnya giliranku juga untuk menunjukan aksiku, kulihat bang Wildan tersenyum tanda semangat untukku. Mulutnya menginsyaratkanku agar focus pada petikan yang akan kumainkan. Mulai kupetik chord demi chord gitarku, menghasilkan sebuah lagu band Peterpan, ya tak salah lagi, lagu favoritku dengan bang Wildan “Semua Tentang Kita.” Kulirik kearah Abangku itu, kulihat dia menikmati sekali, kulihat dengan senyuman manisnya itu.
                “Yaahh, beri tepuk tangan yang meriah buat Gilbert..”
                “Alhamdulillah sukses” Pikirku ,
                “Wah kelihatannya persaingannya semakin ketat ni, eh Wildan, elu kagak ikutan?”
                “Enggaklah Cuma nganterin adek aku aja.”
                “Wah sayang, kan lu jago banget maen gitarnya? Bro ini ada satu lagi yang mau audisi”
                “Apaan sih?”
                Bang Wildanpun naik kepanggung, aku sempet kaget, campur kecewa, bang Wildan nggak memenuhi omongannya. Aku diam sejenak memperhatikan aksi abangku yang munafik itu.
“Dan yang lolos dalam ajang pencarian gitaris Band Adalah…..
                Wildan Aji Sanjaya.”
                Deg… Apa ini ? Abang lolos ? Arghhhhh, abang munafik, kenapa dia yang lolos ? Ah gilak, ini nggak adil ! Kulihat bang Wildan mendekatiku.
                “Dek?”
                “Penipu !” Langsung kuberlari tanpa mengindahkan perkataan bang Wildan.
                Hari demi hari selalu kujalani, dan semakin hari semakin berbeda saja, beberapa kali bang Wildan selalu mengajakku bicara, tapi tak pernah kuindahkan, aku sekarang juga jadi sering membentaknya, bahkan pernah sekali kupukul dia, sampai hidungnya mengeluarkan darah, tapi tak pernah kulihat bang Wildan berusaha untuk membalas.
                “Tok..tok…”
                “Siapa ?” Tanyaku acuh
                “Siapa ?” Ulangku lagi
                “Krek,…” pintu kamarku terbuka sekarang, ternyata bang Wildan.
                “Mau ngapain sih lu?” Tanyaku sewot, bang Wildan tersenyum lalu berkata “Boleh abang bicara dek ?”
                “Bicara ya bicara aja kalik, cepet ! Gue Sibuk !”
                “Abang mau jelasin yang waktu itu dek.”
                “Mau jelasin apa lagi sih, udah jelas kan ?”
                “Adek masih marah?” bang Wildan menatapku tajam, matanya mulai berkaca-kaca, sebenarnya tak tega aku melihat abngku sampai seperti itu, tapi kekalutanku sudah menutup hati nuraniku, menghapus nama Wildan Aji Sanjaya dari daftar orang yang aku sayang.
                “Alah marah ? Penipu kayak l utu wajar dimarahi, wajar nggak punya temen, nggak sudi gue punya abang kayak Lu, dasar penipu ! Munafik! Keluar lu! Cepet.”
Kudorong bang Wildan keluar kamar, tanpa kutahu, aku menginjak mobil mainan yang berserakan dilantai kamarku, entah apa yang terjadi aku lupa, yang kuingat hanhya suara teriakan bang Wildan histeris memanggil-manggil namaku.
Kepalaku terasa pusing, aku tersadar disuatu ruang yang serba putih, kulihat Umi tertidur disampingku, “Mi, Gilbert dimana ?”
                “Alhamdulillah, kamu sudah sadar nak ? Kamu di Rumah Sakit Nak.”
                “Aku kenapa Mi?”
                “Kamu jatuh nak, kamu banyak mengeluarkan darah, 4 jam kamu tak asadarkan diri, abangmu yang mneyumbangkan darahnya untukmu nak.”
                “Abang ? Mana abang Mi?” Hatiku tersentuh, Begitu banyak kelakuanku yang membuat  hati abangku sakit, tapi tetap saja, dia mau menyelamatkan nyawaku, tak kuasa aku menahan tangis mengingat-ingat apa yang telah aku lakukan kepada abangku itu.
“Umi, gilbert salah MI, Gilbert salah nggak mau dengerin penjelasan abang, Gilbert egois mi, Gilbert terlalu menyalahkan abang, Gilbert terlalu iri sama abang, Gilbert bentak abang mi, Gilbert pukul abang sampai berdarah, Gilbert caci maki abang Mi, Gilbert nyesel Mi. Abang mana Mi ? Gilbert mau ketemu sama abang, Gilbert udah jahat Mi sama abang!” Ucapku penuh isak tangis,
“Kamu nggak Salah kok dek, abang yang salah. Maafin abang udah bohong sama kamu, tapi itu bukan kemauan abang dek, Roy yang ngusulin abang kejuri supaya  abang ikut audisi, abang nggak pernah niat dek, apalagi gara-gara itu kamu jadi marah sama abang, abang juga langsung ngundurin diri dek, abang nggak mau lihat kamu marah dek, abang sayang sama kamu dek, kamu adek abang dek.”
Bang Wildan menatapku dalam-dalam, matanya sampai merah, hatiku terenyuh, sesak dadaku rasanya. “Maafin adek bang, adek nggak harusnya egois, mungkin itu rezeki abang, adek terlalu teropsesi bang, maafin adek bang, adek emang jahat adek goblok aku goblok.” Terus kuucap itu sambil kupukul pukul kepalaku, aku menangis, aku menjerit “Aku goblok bang” samba, terus kupukul kepalaku, bang wildan dengan sgap memelukku, diciumnya kepalaku,terasa tenang hatiku, aku terus menangis dipelukan bang Wildan. Umi terharu melihat pemandangan seperti itu, segera ia meninggalkan kamar tempatku dirawat, mungkin ia mau menangis, dan tangisannya itu tak mau ia perlihatkan kepada kami.
Setelah kejadian itu Aku dan bang Wildan sudah kembali akrab seperti dulu, Aku semakin sayang sama abngku itu. Mala mini bang Wildan memintaku untuk tidur dikamarnya, tepat pukul 3 ia membangunkanku dan mengajakku sholat tahajud.
“Dek, Abang sayang sama adek.” Bang Wildan tersenyum manis kepadaku.
“Adek juga bang.”
Bang wildan memelukku erat, lalu berkata
“Taka da gading yang tak retakkan dek ?”
“Iya bang..”
“Semua makhluk pasti mati kan dek? Semua pasti kembali kepada-Nya kan dek?
Doakan abng ya dek, semoga abang bisa melewati lorong itu dengan cahaya dari Adek, Umi dan Abi, selalu ingat abang ya dek.”
Pagi itu aku sangat terpesona melihat abangku, tak biasanya ia terlihat serapi itu, dia juga jarang bahkan hamper tak pernah memakai baju serba putih. Ia terlihat sangat gagah dan tampan.
“Wah abangku ini, kelihatan tampan dan gagah sekali, mau kemana sih bang ?” Tanyaku kepo.
“Mau ketemu kekasih abang dek.” Bang Wildan tersenyum,
“What ? Bang Wildan punya pacar ? Gimana kalau Umi tahu bang?” aku khawatir, Umi dan Abi sangat mempertegas kepada kami anak-anaknya supaya tidak mengenal apa itu pacaran, dan sekarang bang Wildan melanggarnya ?
“ Iya dek, kekasih abang yang sesungguhnya. Umi dan Abi pasti setuju kok dek.”
“Kok adek nggak tau ? kelas berapa ? sekolah dimana?” Tanyaku semakin penasaran.
“Dia nggak sekolah dek!” Jawab bang wildan.
“Nggak sekolah ? Kerja ? Kerja dimana ?”
“Dia juga nggak kerja dek!”
“Nggak sekolah ? Enggak kerja juga ? Adek kenal nggak?”
“Adek kenal kok, kenal banget malah, abang pergi dulu dek ya, jaga Umi sama Abi ya, jangan bandel. Assalamualaikum.” Bang Wildan menyempatkan untuk menyium keningku sekali lagi.
 Aku benar-benar merasa aneh hari ini, “ihhh semakin sebel hari ini aman bang Wildan pergi nggak pulang-pulang, Ahhh. Nyebelin” Gerutu ku.
“Kring..Kring…” Ada telepon, Umi mengangkatnya, terdengar Umi sedang bicara dengan seseorang, “Ah mungkinteman arisannya” pikirku.
“Abi.. Abi…” Umi berteriak histeris, airmatanya terus saja keluar, Umi mengucap banyak sekali istigfar. “Ada apa Mi, kok teriak-teriak gitu.” Tanya Abi mencoba menenangkan Umi. “Wildan bi, Wildan..”
Deg.. Umi menyebut nama bang Wildan, dan Umi menagis ada apa ini  ?
“Wildan kenapa Mi?” Tanya Abi setenang mungkin.
“Wildan kecelakaan Bi.”
“Astagfirullah.” Ucapku dan Abi bersamaan..
Segera aku, Abi, Umi menuju rumah sakit tempat bang Wildan dirawat, dokter nampaknya telah selesai memeriksa abang, segera Abi bertanya kepada dokter tentang keadaan bang Wildan.
“Bagaimana keadaan anak saya dok?”
“Maaf pak, kami telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan anak Bapak, tapi kehendak Tuhan berkata lain. Benturan keras yang dialami anak bapak telah merusak selaput otaknya, anak Bapak sudah tenang disana.”
“Astagfirullah..” Umi menjerit sejadi-jadinya, Abi hanya diam mematung, tapi air mata terlihat dari ujung matanya. Abi terlihat pucat sekali, Abi berusaha tetap terlihat tegar, tapi aku tahu, saat ini hati Abi pasti sangat terpukul sekali, Aku bingung aku harus memilih menenagkan siapa, aku juga tak kuasa menahan sakit dihatiku ini,”Ya Allah, apakah tadi pagi itu merupakan isyarat dari abang, Baju putih itu ? kata-kata itu ? Apakah kekasih yang dimaksud itu Engkau Ya Allah? Apakah benar? Pelukan itu, kecupan itu, tak kusangka menjadi yang terakhir kalinya buatku. Ya Allah, secepat ini kah ?
“Bang Wildan? Kenapa bang ? Apa adek nakal bang ? Iya bang adek nakal, jawab bang ! Jangan Cuma diem, bang wildan janji bakal terus jadi susu buat ngisi kopi adek bang, abang janji bakal terus membuat manis kopi adek bang. Lalu kenapa bang ? Sekarang susu sudah hilang bang, apa kopi adek akan terasa pahit lagi bang? Jawab bang” Aku terus berbicara pada tubuh kaku bang Wildan, Aku tak peduli dengan bau anyir darah yang mulai menyeruak menusuk hidung, ketertunduk bisu sekarang, air mata tak mampu lagi kesembunyikan. Abangku yang kukenal supel, abangku yang perhatian, abangku yang selalu mengalah, sekarang sudah tidak ada lagi, aku janji bang, Aku, Umi, dan Abi akan selalu jadi penerang bagi abang untuk melewati lorong itu bang, tunggu kami bang disurga firdaus nanti. Selamat jalan bang, adek sangatlah sayang sama abang…………


Tamat


Previous
Next Post »